Bumdes Trimurti Studi
Banding Pemanfaatan Sampah Organik
Dari
75 kalurahan se Kabupaten Bantul ada 68 yang telah membentuk Bumdes, dengan
tingkat perkembangan yang sangat variatif. Dari jumlah itu yang memiliki unit
usaha pengelolaan sampah ada 24 Bumdes, juga dengan jumlah pelangggan yang
variatif pula. Mereka memiliki jumlah pelanggan ada yang berjumlah sekitar 600 KK tetapi ada yang hanya sekitar 50 KK. Bumdes Trimurti Srandakan unit usaha
sampahnya relative baik, memiliki
pelanggan 600 KK dengan iuran 20 ribu rupiah perbulan. Menurut pengurus Bumdes untuk
operasional pengambilan sampah dari pelanggan dilayani oleh tiga karyawan
Bumdes yang mendapat honor perorang Rp. 1.300.000,- perbulan, sedang karyawan
pemilah sampah 2 orang dengan honor perorang Rp. 800.000,- perbulan. Biaya
operasional untuk kendaraan angkut sampah menggunakan motor jenis Tossa setiap bulan membutuhkan biaya BBM sekitar
Rp. 600.000,-.
“Selama ini
Bumdes Trimurti telah memilah sampah dari warga untuk diambil sampah yang
memiliki nilai ekonomi yakni sampah plastik dan kertas, kemudian sampah ini
dijual ke pengepul sementara untuk sampah organik serta sampah residu dibuang
ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Piyungan kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup
Bantul. Setiap bulan Bumdes harus membayar ke DLH sekitar tiga juta rupiah,”
jelasnya. Jadi keuntungan secara ekonomis dari unit usaha sampah memang kecil,
tetapi secara sosial sangat positif.
Dari penelitian menunjukan bahwa setiap orang memproduksi sampah seberat 0,6 kg per hari dengan komponen sampah organiknya 50%, selebihnya 20% sampah yang bisa didaur ulang, 30% berupa sampah residu yang belum bisa didaur ulang terutama limbah medis dan popok bayi. Dan ironisnya sampah residu ini malah kebanyakan dari produk perusahaan besar multinasional. Dengan asumsi tiap KK terdiri dari empat orang maka total sampah setiap hari yang terkumpul di Bumdes Trimurti adalah 1.440 kg sampah, berarti ada 720 kg sampah organik, 288 kg sampah daur ulang, dan 432 kg sampah residu.
Padahal sampah
organik yang terkumpul seharusnya tidak perlu dibuang ke TPA, karena bisa
dimanfaatkan untuk pakan budidaya maggot, maka sangat sayang jika sekitar 720
kilo sampah organik harus dibuang sia-sia. Dalam rangka penjajagan dan
mendalami peluang ini maka pengurus, karyawan Bumdes dan perangkat kalurahan Trimurti
yang difasilitasi oleh Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa melakukan
studi lapang dengan melihat secara langsung ke peternak maggot yang telah
sukses. Dua tempat peternakan mereka kunjungi yakni Maggot BSF Sleman dan Omah
Maggot Yogya di Piyungan.
Kunjungan ke Maggot BSF Sleman bertujuan untuk
mencermati aspek peluang bisnisnya. Menurut pemilik Maggot BSF Sleman mampu
memproduksi 300 kilo maggot seharinya. Untuk bisa memproduksi maggot sebanyak itu
harus disediakan pakan sebanyak sekitar 1.500 kg sehari, dan pengelolaannya dibantu
dengan karyawan enam orang. “Karena untuk menghasilkan setiap kilo maggot butuh
lima kilo pakan yang berupa limbah organik. Disini pakan yang kami gunakan
berupa sampah organik pasar yang saya
ambil dari sekitar Sleman,” jelasnya.
“Untuk
pemasaran saya sudah punya pelanggan para peternak ikan dan peternak ayam yang
datang sendiri mengambil. Harga maggot enam ribu sementara harga pakan pelet
pabrik sebelas ribu sekilo sehingga peternak ikan atau ayam bisa berhemat biaya
pakan,” katanya. Menurutnya, permintaan maggot sebagai pakan ternak masih
sangat terbuka karena permintaan pelanggan belum bisa dipenuhi. Sebuah peluang
usaha yang harusnya dilirik oleh Bumdes yang punya unit usaha sampah, karena
sampah organik untuk pakan maggot sudah tersedia.
Sementara di
Omah Maggot Yogya rombongan Bumdes menimba teknis budidaya maggot dari
penetasan telur, pemeliharaan fase baby maggot, larva, pupa, dan fase lalat.
Namun tak kalah pentingnya mempelajari konsep integrasi peternakan maggot
dengan perikanan, peternakan unggas, dan pertanian. Di Omah Maggot kandang
ternak kelinci dan ayam didesain agar kotorannya langsung ditampung dalam
tempat yang juga digunakan sebagai kandang maggot, sehingga kotoran hewan
langsung jadi pakan maggot dan tidak ribet membersihkan kandang lagi. Maggot segar
yang dihasilkan digunakan untuk pakan ayam, maka terjadi siklus pakan yang
terintegrasi.
Menurut
pemilik Omah Maggot, sebagian produk maggot sudah diolah dengan dikeringkan
sebagai pakan ikan hias, harga maggot yang telah dikeringkan mencapai 50 ribu
rupiah perkilo. “ Kami juga menjual dalam bentuk telur maggot, baby maggot, dan
pupa maggot untuk mereka yang ingin memulai berternak maggot,” tuturnya. Dari
ternak maggot, jelasnya lebih lanjut, juga dihasilkan kompos kasgot yang baik
untuk pupuk tanaman buah dan tanaman hias. “Jika konsep ini diterapkan di
kelompok tani maka ketergantungan akan sarana produksi pertanian dari luar
tidak akan dialami oleh petani,” jelasnya.
Bila sampah
dipilah dengan baik akan mendatangkan ‘aroma’ rupiah, tetapi sampah akan jadi
masalah jika tidak dipilah dan dikelola dengan baik. Persoalan sampah dapat
selesai di tingkat Bumdes, menuju Bantul Zero Waste….dan ingat bahwa Indonesia
negara darurat sampah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar