Jumat, 23 April 2021

Pemanfaatan Sampah Organik

 

Bumdes Trimurti Studi Banding Pemanfaatan Sampah Organik

                Dari 75 kalurahan se Kabupaten Bantul ada 68 yang telah membentuk Bumdes, dengan tingkat perkembangan yang sangat variatif. Dari jumlah itu yang memiliki unit usaha pengelolaan sampah ada 24 Bumdes, juga dengan jumlah pelangggan yang variatif pula. Mereka memiliki jumlah pelanggan ada yang berjumlah sekitar  600 KK tetapi ada yang hanya sekitar 50 KK.  Bumdes Trimurti Srandakan unit usaha sampahnya relative baik,   memiliki pelanggan 600 KK dengan iuran 20 ribu rupiah perbulan. Menurut pengurus Bumdes untuk operasional pengambilan sampah dari pelanggan dilayani oleh tiga karyawan Bumdes yang mendapat honor perorang Rp. 1.300.000,- perbulan, sedang karyawan pemilah sampah 2 orang dengan honor perorang Rp. 800.000,- perbulan. Biaya operasional untuk kendaraan angkut sampah menggunakan motor jenis Tossa  setiap bulan membutuhkan biaya BBM sekitar Rp. 600.000,-.

“Selama ini Bumdes Trimurti telah memilah sampah dari warga untuk diambil sampah yang memiliki nilai ekonomi yakni sampah plastik dan kertas, kemudian sampah ini dijual ke pengepul sementara untuk sampah organik serta sampah residu dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Piyungan  kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup Bantul. Setiap bulan Bumdes harus membayar ke DLH sekitar tiga juta rupiah,” jelasnya. Jadi keuntungan secara ekonomis dari unit usaha sampah memang kecil, tetapi secara sosial sangat positif.


                Dari penelitian menunjukan bahwa setiap orang memproduksi sampah seberat 0,6 kg per hari dengan komponen sampah organiknya 50%, selebihnya 20% sampah yang bisa didaur ulang, 30% berupa sampah residu yang belum bisa didaur ulang terutama limbah medis dan popok bayi. Dan ironisnya sampah residu ini malah kebanyakan dari produk perusahaan besar multinasional. Dengan asumsi tiap KK terdiri dari empat orang maka total sampah setiap hari yang terkumpul di Bumdes Trimurti adalah 1.440 kg sampah, berarti ada 720 kg sampah organik, 288 kg sampah daur ulang, dan 432 kg sampah residu.

Padahal sampah organik yang terkumpul seharusnya tidak perlu dibuang ke TPA, karena bisa dimanfaatkan untuk pakan budidaya maggot, maka sangat sayang jika sekitar 720 kilo sampah organik harus dibuang sia-sia. Dalam rangka penjajagan dan mendalami peluang ini maka pengurus, karyawan Bumdes dan perangkat kalurahan Trimurti yang difasilitasi oleh Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa melakukan studi lapang dengan melihat secara langsung ke peternak maggot yang telah sukses. Dua tempat peternakan mereka kunjungi yakni Maggot BSF Sleman dan Omah Maggot Yogya di Piyungan.

 Kunjungan ke Maggot BSF Sleman bertujuan untuk mencermati aspek peluang bisnisnya. Menurut pemilik Maggot BSF Sleman mampu memproduksi 300 kilo maggot seharinya. Untuk bisa memproduksi maggot sebanyak itu harus disediakan pakan sebanyak sekitar 1.500 kg sehari, dan pengelolaannya dibantu dengan karyawan enam orang. “Karena untuk menghasilkan setiap kilo maggot butuh lima kilo pakan yang berupa limbah organik. Disini pakan yang kami gunakan berupa sampah organik pasar  yang saya ambil dari sekitar Sleman,” jelasnya.

“Untuk pemasaran saya sudah punya pelanggan para peternak ikan dan peternak ayam yang datang sendiri mengambil. Harga maggot enam ribu sementara harga pakan pelet pabrik sebelas ribu sekilo sehingga peternak ikan atau ayam bisa berhemat biaya pakan,” katanya. Menurutnya, permintaan maggot sebagai pakan ternak masih sangat terbuka karena permintaan pelanggan belum bisa dipenuhi. Sebuah peluang usaha yang harusnya dilirik oleh Bumdes yang punya unit usaha sampah, karena sampah organik untuk pakan maggot sudah tersedia.

Sementara di Omah Maggot Yogya rombongan Bumdes menimba teknis budidaya maggot dari penetasan telur, pemeliharaan fase baby maggot, larva, pupa, dan fase lalat. Namun tak kalah pentingnya mempelajari konsep integrasi peternakan maggot dengan perikanan, peternakan unggas, dan pertanian. Di Omah Maggot kandang ternak kelinci dan ayam didesain agar kotorannya langsung ditampung dalam tempat yang juga digunakan sebagai kandang maggot, sehingga kotoran hewan langsung jadi pakan maggot dan tidak ribet membersihkan kandang lagi. Maggot segar yang dihasilkan digunakan untuk pakan ayam, maka terjadi siklus pakan yang terintegrasi.

Menurut pemilik Omah Maggot, sebagian produk maggot sudah diolah dengan dikeringkan sebagai pakan ikan hias, harga maggot yang telah dikeringkan mencapai 50 ribu rupiah perkilo. “ Kami juga menjual dalam bentuk telur maggot, baby maggot, dan pupa maggot untuk mereka yang ingin memulai berternak maggot,” tuturnya. Dari ternak maggot, jelasnya lebih lanjut, juga dihasilkan kompos kasgot yang baik untuk pupuk tanaman buah dan tanaman hias. “Jika konsep ini diterapkan di kelompok tani maka ketergantungan akan sarana produksi pertanian dari luar tidak akan dialami oleh petani,” jelasnya.

Bila sampah dipilah dengan baik akan mendatangkan ‘aroma’ rupiah, tetapi sampah akan jadi masalah jika tidak dipilah dan dikelola dengan baik. Persoalan sampah dapat selesai di tingkat Bumdes, menuju Bantul Zero Waste….dan ingat bahwa Indonesia negara darurat sampah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PKTD Untuk Kegiatan Kebun Buah Desa

                   Sesuai dengan kebijakan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dalam penggunaan Dana Desa tahun ...