Sabtu, 17 April 2021

Budidaya Maggot

             Menuju Bantul Zero Waste Dengan Budidaya Maggot 

                Setiap orang menghasilkan sampah, tetapi setiap orang tidak mau ketempatan sampah. Jangankan ketempatan sampah, untuk memilah sampahnya sendiri saja semua orang juga tidak mau. Dari sinilah masalah sampah muncul. Sampah akan menjadi masalah ketika tidak dipilah tetapi sampah akan menjadi berkah ketika kita mampu memilahnya. Konsep inilah yang menjadi tema pelatihan bagi dua puluh empat Bumdes yang memiliki unit usaha sampah di Kabupaten Bantul. Agar konsep pengolahan sampah dengan dasar pemilahan sampah ini bisa dipraktekkan secara masif nantinya maka perlu disosialisasikan dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat.

Maka dalam pelatihan yang dilaksanakan secara marathon oleh DPPKBPMD mulai tanggal 16 sampai dengan 31 maret 2021 diikuti dari unsur kapanewon dari seluruh kapanewon se Bantul, unsur pemerintah desa dan Bamuskal serta unsur pengurus Bumdes dari 24 kalurahan di Bantul, dan unsur pendamping desa dari 17 kapanewon di Bantul. Diharapkan mereka bisa berkolaborasi dan menjadi garda terdepan sehingga terjadi akselerasi dalam mewujudkan Bantul Bersih Sampah atau Bantul Zero Waste. Narasumber pelatihan ini diambilkan dari praktisi yang sudah lama berkecimpung dalam persampahan dan dari pendamping P3MD Bantul. Bapak Ir. Boy Candra MT pemilik pabrik pralon yang berbahan baku limbah plastik, Bapak Profesor Gunawan Sumodiningrat founder dari Guwosari Training Center lembaga yang bergerak dalam daur ulang sampah untuk dijadikan produk baru yang memiliki nilai ekonomi, Bapak Dwi Suwantoro ST, MT seorang ahli pemanfaatan sampah plastik untuk dijadikan panel bahan bangunan, Bapak Agus Haetami seorang pencipta berbagai mesin pengolah sampah, dan Agung Triatmo penggiat teknologi tepat guna pertanian ramah lingkungan.

 Aktifitas manusia semakin beragam setiap harinya, dan semakin banyak barang dan produk yang dibeli sehingga sampah yang dihasilkan sudah melebihi kemampuan alam untuk mengurainya. Ditambah  dengan perilaku membuang sampah sembarangan akibatnya dibeberapa kota Tempat Pembuangan Akhir sudah tidak bisa menampung timbunan sampah, sungai dan lautan menjadi tercemar. Kekayaan plasma nutfah atau keragaman hayati lautan akan musnah dalam lima puluh tahun kedepan kalau kondisi seperti ini dibiarkan.

Dari penelitian menunjukkan bahwa setiap orang dalam seharinya memproduksi 0,7 kg sampah dengan komposisi 60% sampah organik, 20% sampah daur ulang, 20% sampah residu. Sampah organik yang merupakan bagian terbesar dari sampah rumah tangga ternyata yang sudah  didaur ulang diolah menjadi kompos baru mencapai 15%, sisanya terbuang di TPA dan akhirnya membusuk dan menjadi sumber polusi udara dan pencemaran lingkungan. Sampai hari ini sampah residu belum banyak tertangani baik secara reuse (menggunakan kembali) maupun recycle (mendaur ulang) terlebih untuk jenis sampah medis. Yang sudah tertangani dengan baik adalah jenis sampah daur ulang, misal plastik, kertas, besi, kaca karena laku dijual ke pengepul sampah.

Dalam pelatihan yang dilaksanakan di Guwosari Training Center (GSTC) Kalurahan Guwosari Pajangan ini peserta pelatihan diberi materi tentang bagaimana sampah itu digunakan kembali dan bagaimana sampah itu didaur ulang menjadi produk baru yang fungsional dan memiliki nilai ekonomi. Peserta diajari untuk mengenal lebih teliti berbagai jenis sampah plastik limbah rumah tangga dan bagaimana sampah plastik tersebut didaur ulang menjadi pralon dan bahan lain yang dibutuhkan manusia. Juga bagaimana sampah kain bekas digunakan kembali menjadi pot semen tanaman yang harganya lebih murah dengan pot plastik dalam ukuran sama.

Problem di Bumdes saat ini khususnya yang memiliki unit usaha sampah adalah belum dimanfaatkannya sampah organik rumah tangga yang terkumpul dari pelanggan mereka. Bumdes masih sebatas mengambil sampah plastik dan kertas dari sampah pelanggan dan mereka jual ke pihak ketiga. Padahal jumlah sampah organik ini jumlahnya banyak, sehari bisa ratusan kilo. Maka bagaimana memanfaatkan sampah organik ini supaya tidak hanya dibuang ke TPA, menjadi materi pelatihan yang penting agar sampah dari masyarakat bisa tuntas terselesaikan oleh Bumdes.

Sampah organik sebenarnya dapat terurai oleh mikroorganisme yang ada di alam tetapi proses ini membutuhkan waktu lama. Kemampuan mikroorganisme dalam menguraikan sampah kalah cepat dengan jumlah sampah yang diproduksi manusia. Padahal ada organisme yang mampu menguraikan sampah dengan cepat dan mudah dilakukan, yaitu maggot. Maggot adalah fase larva dari lalat tentara hitam (black soldier fly), lalat yang berkembang biak dengan cepat, dalam satu siklus hidupnya selama 50 hari mampu berkembang biak seratus kali. Pada fase maggot mampu mengkonsumsi sampah organik seberat dua kali berat tubuhnya, sifat inilah yang menjadikan maggot sebagai ‘mesin’ pengurai sampah organik yang paling efektif sekaligus efisien.

Manfaat yang didapat tidak hanya sebagai pengurai sampah organik tetapi juga maggot ini bisa dimanfaatkan sebagai pakan unggas dan ikan karena tubuhnya mengandung protein tinggi dan juga kalori. Penggunaan maggot sebagai pakan ikan dapat menekan komponen biaya pakan ikan sampai 23%. Dari budidaya maggot juga menghasilkan pupuk kompos berkualitas dari kotoran maggot. Jadi, satu sisi masalah sampahnya bisa terselesaikan  dan akan didapat manfaat lain yang sangat menguntungkan.

Bagaimana analisa usaha budidaya maggot? Untuk bisa menghasilkan satu kilogram maggot dari fase telur sampai maggot dewasa dibutuhkan lima kilogram limbah organik. Jadi kalau Bumdes punya pelanggan 400 KK dengan satu KK anggotanya 4 orang maka dalam satu hari sampah organik yang terkumpul adalah 0,6 x 0,7 x 4 x 400 kg sekitar 672 kg sampah organik. Maka dalam sehari mampu dihasilkan maggot seberat 672 kg dibagi lima yakni sekitar 134 kilogram maggot. Harga satu kilo maggot di pasaran Rp. 6.000,- sehingga Bumdes akan memperoleh pendapatan sebesar 134 kali Rp. 6.000,- yakni Rp.804.000,- dengan dikurangi biaya penyusutan kandang dan alat serta upah tenagakerja masih feasible untuk serius digeluti. Potensinya sangat besar,  jumlah KK di satu desa bisa mencapai 2.000 KK lebih, apabila unit usaha sampah digeluti secara serius oleh Bumdes hasilnya sangat menjanjikan.

Jika budidaya maggot dengan menggunakan pakan sampah organik limbah rumah tangga bisa dilakukan secara massif di setiap Bumdes, masalah sampah terselesaikan di tingkat Bumdes dan mimpi Bantul Zero Waste -seperti misinya bupati-  bisa terwujud tidak lebih dalam tiga tahun.

Global thinking, local acting. Dari Bantul untuk Indonesia. Semoga…(AT)

                                                                                                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PKTD Untuk Kegiatan Kebun Buah Desa

                   Sesuai dengan kebijakan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dalam penggunaan Dana Desa tahun ...