Jumat, 23 April 2021

Pemanfaatan Sampah Organik

 

Bumdes Trimurti Studi Banding Pemanfaatan Sampah Organik

                Dari 75 kalurahan se Kabupaten Bantul ada 68 yang telah membentuk Bumdes, dengan tingkat perkembangan yang sangat variatif. Dari jumlah itu yang memiliki unit usaha pengelolaan sampah ada 24 Bumdes, juga dengan jumlah pelangggan yang variatif pula. Mereka memiliki jumlah pelanggan ada yang berjumlah sekitar  600 KK tetapi ada yang hanya sekitar 50 KK.  Bumdes Trimurti Srandakan unit usaha sampahnya relative baik,   memiliki pelanggan 600 KK dengan iuran 20 ribu rupiah perbulan. Menurut pengurus Bumdes untuk operasional pengambilan sampah dari pelanggan dilayani oleh tiga karyawan Bumdes yang mendapat honor perorang Rp. 1.300.000,- perbulan, sedang karyawan pemilah sampah 2 orang dengan honor perorang Rp. 800.000,- perbulan. Biaya operasional untuk kendaraan angkut sampah menggunakan motor jenis Tossa  setiap bulan membutuhkan biaya BBM sekitar Rp. 600.000,-.

“Selama ini Bumdes Trimurti telah memilah sampah dari warga untuk diambil sampah yang memiliki nilai ekonomi yakni sampah plastik dan kertas, kemudian sampah ini dijual ke pengepul sementara untuk sampah organik serta sampah residu dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Piyungan  kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup Bantul. Setiap bulan Bumdes harus membayar ke DLH sekitar tiga juta rupiah,” jelasnya. Jadi keuntungan secara ekonomis dari unit usaha sampah memang kecil, tetapi secara sosial sangat positif.


                Dari penelitian menunjukan bahwa setiap orang memproduksi sampah seberat 0,6 kg per hari dengan komponen sampah organiknya 50%, selebihnya 20% sampah yang bisa didaur ulang, 30% berupa sampah residu yang belum bisa didaur ulang terutama limbah medis dan popok bayi. Dan ironisnya sampah residu ini malah kebanyakan dari produk perusahaan besar multinasional. Dengan asumsi tiap KK terdiri dari empat orang maka total sampah setiap hari yang terkumpul di Bumdes Trimurti adalah 1.440 kg sampah, berarti ada 720 kg sampah organik, 288 kg sampah daur ulang, dan 432 kg sampah residu.

Padahal sampah organik yang terkumpul seharusnya tidak perlu dibuang ke TPA, karena bisa dimanfaatkan untuk pakan budidaya maggot, maka sangat sayang jika sekitar 720 kilo sampah organik harus dibuang sia-sia. Dalam rangka penjajagan dan mendalami peluang ini maka pengurus, karyawan Bumdes dan perangkat kalurahan Trimurti yang difasilitasi oleh Pendamping Desa dan Pendamping Lokal Desa melakukan studi lapang dengan melihat secara langsung ke peternak maggot yang telah sukses. Dua tempat peternakan mereka kunjungi yakni Maggot BSF Sleman dan Omah Maggot Yogya di Piyungan.

 Kunjungan ke Maggot BSF Sleman bertujuan untuk mencermati aspek peluang bisnisnya. Menurut pemilik Maggot BSF Sleman mampu memproduksi 300 kilo maggot seharinya. Untuk bisa memproduksi maggot sebanyak itu harus disediakan pakan sebanyak sekitar 1.500 kg sehari, dan pengelolaannya dibantu dengan karyawan enam orang. “Karena untuk menghasilkan setiap kilo maggot butuh lima kilo pakan yang berupa limbah organik. Disini pakan yang kami gunakan berupa sampah organik pasar  yang saya ambil dari sekitar Sleman,” jelasnya.

“Untuk pemasaran saya sudah punya pelanggan para peternak ikan dan peternak ayam yang datang sendiri mengambil. Harga maggot enam ribu sementara harga pakan pelet pabrik sebelas ribu sekilo sehingga peternak ikan atau ayam bisa berhemat biaya pakan,” katanya. Menurutnya, permintaan maggot sebagai pakan ternak masih sangat terbuka karena permintaan pelanggan belum bisa dipenuhi. Sebuah peluang usaha yang harusnya dilirik oleh Bumdes yang punya unit usaha sampah, karena sampah organik untuk pakan maggot sudah tersedia.

Sementara di Omah Maggot Yogya rombongan Bumdes menimba teknis budidaya maggot dari penetasan telur, pemeliharaan fase baby maggot, larva, pupa, dan fase lalat. Namun tak kalah pentingnya mempelajari konsep integrasi peternakan maggot dengan perikanan, peternakan unggas, dan pertanian. Di Omah Maggot kandang ternak kelinci dan ayam didesain agar kotorannya langsung ditampung dalam tempat yang juga digunakan sebagai kandang maggot, sehingga kotoran hewan langsung jadi pakan maggot dan tidak ribet membersihkan kandang lagi. Maggot segar yang dihasilkan digunakan untuk pakan ayam, maka terjadi siklus pakan yang terintegrasi.

Menurut pemilik Omah Maggot, sebagian produk maggot sudah diolah dengan dikeringkan sebagai pakan ikan hias, harga maggot yang telah dikeringkan mencapai 50 ribu rupiah perkilo. “ Kami juga menjual dalam bentuk telur maggot, baby maggot, dan pupa maggot untuk mereka yang ingin memulai berternak maggot,” tuturnya. Dari ternak maggot, jelasnya lebih lanjut, juga dihasilkan kompos kasgot yang baik untuk pupuk tanaman buah dan tanaman hias. “Jika konsep ini diterapkan di kelompok tani maka ketergantungan akan sarana produksi pertanian dari luar tidak akan dialami oleh petani,” jelasnya.

Bila sampah dipilah dengan baik akan mendatangkan ‘aroma’ rupiah, tetapi sampah akan jadi masalah jika tidak dipilah dan dikelola dengan baik. Persoalan sampah dapat selesai di tingkat Bumdes, menuju Bantul Zero Waste….dan ingat bahwa Indonesia negara darurat sampah.


Selasa, 20 April 2021

Pengolahan Hasil Pertanian Produk Unggulan dengan Inovasi Teknologi

 Pengolahan Hasil Pertanian Produk Unggulan dengan Inovasi Teknologi

                Kabupaten Bantul menjadi salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang masih memiliki lahan pertanian luas, meski di beberapa kapanewon yang berdekatan dengan kota Yogyakarta mulai tergerus untuk pemukiman warga. Sebagian besar warga Bantul  masih menggantungkan hidupnya di bidang pertanian sebagai sumber penghidupan. Beberapa jenis komoditas seperti pisang, jagung, kelapa, mlinjo, dihasilkan oleh sebagian besar wilayah. Namun Bantul belum memiliki ikon produk pertanian yang menjadi ciri khasnya.

                Dulu Bantul memiliki ciri khas produk makanan  yang  identik dengan nama Bantul, yakni geplak. Tetapi kini popularitasnya sudah tergantikan oleh berbagai jenis makanan  lain yang lebih digemari  masyarakat, khususnya kaum milenial. Dalam upaya menemukan produk makanan olahan unggulan berbahan baku lokal maka Dinas PPKBPMD Bantul mengagendakan pelatihan peningkatan kapasitas masyarakat dengan thema ‘Pelatihan Ketrampilan Pengolahan Hasil Pertanian Berbasisi Teknologi Tepat Guna’. Pelatihan ini dilaksanakan pada tanggal  di Kalurahan Argorejo Kapanewon Sedayu dan Kalurahan Wijirejo Kapanewon Pandak dengan peserta sejumlah 30 orang dari anggota UP2KPKK desa. Karena sifat pelatihan adalah pemberian ketrampilan bagi peserta maka metode pelatihan langsung praktek, narasumber diambilkan dari praktisi pengusaha yang menekuni usaha dibidang pengolahan produk makanan tersebut.

                Untuk Kalurahan Argorejo materi pelatihannya adalah pengolahan produk pertanian pisang dan kelapa menjadi berbagai macam makanan olahan. Selama ini Kalurahan Argorejo memiliki hasil pertanian pisang yang melimpah tetapi penjualannya belum dalam bentuk makanan olahan. Sehingga tidak punya nilai ekonomi tinggi dan terkadang tidak bisa terserap oleh pasar, karena sifat pisang yang  mudah busuk. Maka dalam upaya meningkatkan daya jual dan memaksimalkan daya saing  produk pertanian perlu dilakukan pengolahan yang memiliki daya tarik bagi konsumen.

                Peserta sangat tertarik karena cara pengolahan yang dilakukan oleh narasumber merupakan suatu hal yang baru dan juga inovatif meski peralatan yang digunakan sangat biasa. Peserta dapat meniru dan mereplikasi kegiatan ini secara kelompok.

                Sedang untuk Kalurahan Wijirejo materi pelatihan adalah pengolahan produk pertanian mlinjo menjadi emping mlinjo. Jika selama ini emping mlinjo identik dengan meningkatnya  asam urat bagi orang yang mengkonsumsi maka dalam pelatihan ini peserta dikenalkan cara menetralisir zat purin dalam mlinjo sehingga konsumen nantinya tidak perlu takut lagi mengkonsumsi emping mlinjo. Bahan yang digunakan sebagai ramuan yang dapat menetralisir sat purin dalam mlinjo ternyata mudah didapat dari sekitar kita. Ramuan ini sekaligus juga sebagai variasi rasa dan pewarna alami emping mlinjo sehingga produk menjadi warna warni sebagai daya tarik konsumen.

                Membuat inovasi produk itu sesuatu yang membutuhkan kesungguhan, tetapi bagaimana produk itu bisa dibeli konsumen membutuhkan perjuangan dan kerja serius. Maka materi pelatihan juga dilengkapi tentang Manajemen Pemasaran dan Kiat Merebut Hati Konsumen. Semoga Bantul punya ikon baru produk unggulan…

 

Senin, 19 April 2021

Audensi TPP Bantul

 Audensi TPP Bantul ke Bupati

        Rombongan Tim Pendamping Profesional (TPP) P3MD Bantul yang berjumlah lima orang melakukan kunjungan kehormatan ke  Bupati Bantul terpilih H. Abdul Halim Muslih pada hari Rabu 14 April 2021 jam 10.00 di kantor dinas bupati. Dalam audensi ini bupati ditemani oleh Sekda Bantul Drs. Helmi Jamharis, M.M dan kepala DPPKBPMD Dra. Sri Nuryanti, M.Si dan Kasi Pengembangan Sumberdaya dan Insfrastruktur Desa Wijiyana, SIP. Pertemuan ini bertujuan agar berbagai  kendala dalam akselerasi capaian progres Program Pemberdayaan Pembangunan Masyarakat Desa memperoleh dukungan kebijakan di tingkat kabupaten. Sebaliknya bagaimana agar TPP P3MD dapat ikut berperan dalam mewujudkan visi-misi bupati dan kegiatan program OPD  di Bantul.

           Dalam kesempatan ini, Tenaga Ahli Perencanaan Partisipatif Slamet, S.Pd melaporkan kemajuan program, dinamika yang terjadi dalam fasilitasi proses di lapangan, dan kendala yang sedang dialami.  Kemajuan pencairan Dana Desa berjalan dengan lancar, termasuk BLT DD yang pencairannya setiap bulan. Juga pemutakhiran IDM telah selesai dan berita acara sudah ditandatangani oleh lurah dan kapanewon, dan hasilnya banyak kalurahan yang statusnya naik dari maju ke mandiri, kalurahan yang berstatus mandiri mencapai 61%. Fasilitasi proses penyusunan RPJMKal masih kurang berjalan seperti ketentuan peraturan yang ada, dari 24 lurah terpilih sebagian besar belum selesai menetapkan RPJMKal.

         Seperti diketahui,  bahwa sesuai dengan Permendesa 21/2020, seluruh proses pendataan SDGs Desa didanai oleh Dana Desa, dan dapat diperluas dengan sumber-sumber pendanaan yang sah. Pendataan ini dilaksanakan oleh desa sendiri melalui Pokja Relawan Pendataan Desa, sehingga Lurah harus menerbitkan Surat Keputusan  Pokja Pendataan Desa. Sementara durasi waktu Pendataan SDGs Desa 2021 sangat singkat, dilaksanakan mulai tanggal 1 Maret 2021 dan harus sudah selesai sampai 31 Maret 2021. Waktu efektif tersisa satu setengan bulan tetapi progres belum menggembirakan.

        “Kendala yang perlu segera mendapat perhatian adalah soal pendanaan untuk melaksanakan Pendataan SDGs Desa, karena ruang lingkup pendataan sangat rigit mulai dari Level Desa, Level Rukun Tetangga, Level Keluarga, dan Level Individu. Dibutuhkan banyak personil pendata, maka jika ingin berjalan dengan baik harus ada dana operasional pendukungnya, sementara kegiatan tersebut di APBDesa belum  teralokasi dananya,” jelas Slamet. Menurutnya,“Kelurahan membutuhkan payung hukum untuk bisa segera melakukan perubahan anggaran dalam APBDes”.

        Kendala serius ini mendapat respons dari bupati, Sekda dan DPPKBPMD diminta untuk segera mengeluarkan Surat Edaran agar desa melakukan refokusing anggaran  memasukkan Pendataan SDGs sebagai kegiatan yang teralokasikan dalam APBKal 2021. Bupati memberi arahan agar pengalokasiannya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing kalurahan, tidak menyeragamkan dan  dalam minggu ini surat tersebut sudah sampai ke kelurahan agar dapat menjadi pedoman lurah.

        Semoga Pendataan SDGs dapat berjalan sesuai batas waktu yang tersedia dengan tetap menjaga keakuratan data dan nantinya dapat digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan strategis kelurahan  dalam penggunaan sumberdaya yang dimiliki.

Sabtu, 17 April 2021

Budidaya Maggot

             Menuju Bantul Zero Waste Dengan Budidaya Maggot 

                Setiap orang menghasilkan sampah, tetapi setiap orang tidak mau ketempatan sampah. Jangankan ketempatan sampah, untuk memilah sampahnya sendiri saja semua orang juga tidak mau. Dari sinilah masalah sampah muncul. Sampah akan menjadi masalah ketika tidak dipilah tetapi sampah akan menjadi berkah ketika kita mampu memilahnya. Konsep inilah yang menjadi tema pelatihan bagi dua puluh empat Bumdes yang memiliki unit usaha sampah di Kabupaten Bantul. Agar konsep pengolahan sampah dengan dasar pemilahan sampah ini bisa dipraktekkan secara masif nantinya maka perlu disosialisasikan dengan melibatkan berbagai komponen masyarakat.

Maka dalam pelatihan yang dilaksanakan secara marathon oleh DPPKBPMD mulai tanggal 16 sampai dengan 31 maret 2021 diikuti dari unsur kapanewon dari seluruh kapanewon se Bantul, unsur pemerintah desa dan Bamuskal serta unsur pengurus Bumdes dari 24 kalurahan di Bantul, dan unsur pendamping desa dari 17 kapanewon di Bantul. Diharapkan mereka bisa berkolaborasi dan menjadi garda terdepan sehingga terjadi akselerasi dalam mewujudkan Bantul Bersih Sampah atau Bantul Zero Waste. Narasumber pelatihan ini diambilkan dari praktisi yang sudah lama berkecimpung dalam persampahan dan dari pendamping P3MD Bantul. Bapak Ir. Boy Candra MT pemilik pabrik pralon yang berbahan baku limbah plastik, Bapak Profesor Gunawan Sumodiningrat founder dari Guwosari Training Center lembaga yang bergerak dalam daur ulang sampah untuk dijadikan produk baru yang memiliki nilai ekonomi, Bapak Dwi Suwantoro ST, MT seorang ahli pemanfaatan sampah plastik untuk dijadikan panel bahan bangunan, Bapak Agus Haetami seorang pencipta berbagai mesin pengolah sampah, dan Agung Triatmo penggiat teknologi tepat guna pertanian ramah lingkungan.

 Aktifitas manusia semakin beragam setiap harinya, dan semakin banyak barang dan produk yang dibeli sehingga sampah yang dihasilkan sudah melebihi kemampuan alam untuk mengurainya. Ditambah  dengan perilaku membuang sampah sembarangan akibatnya dibeberapa kota Tempat Pembuangan Akhir sudah tidak bisa menampung timbunan sampah, sungai dan lautan menjadi tercemar. Kekayaan plasma nutfah atau keragaman hayati lautan akan musnah dalam lima puluh tahun kedepan kalau kondisi seperti ini dibiarkan.

Dari penelitian menunjukkan bahwa setiap orang dalam seharinya memproduksi 0,7 kg sampah dengan komposisi 60% sampah organik, 20% sampah daur ulang, 20% sampah residu. Sampah organik yang merupakan bagian terbesar dari sampah rumah tangga ternyata yang sudah  didaur ulang diolah menjadi kompos baru mencapai 15%, sisanya terbuang di TPA dan akhirnya membusuk dan menjadi sumber polusi udara dan pencemaran lingkungan. Sampai hari ini sampah residu belum banyak tertangani baik secara reuse (menggunakan kembali) maupun recycle (mendaur ulang) terlebih untuk jenis sampah medis. Yang sudah tertangani dengan baik adalah jenis sampah daur ulang, misal plastik, kertas, besi, kaca karena laku dijual ke pengepul sampah.

Dalam pelatihan yang dilaksanakan di Guwosari Training Center (GSTC) Kalurahan Guwosari Pajangan ini peserta pelatihan diberi materi tentang bagaimana sampah itu digunakan kembali dan bagaimana sampah itu didaur ulang menjadi produk baru yang fungsional dan memiliki nilai ekonomi. Peserta diajari untuk mengenal lebih teliti berbagai jenis sampah plastik limbah rumah tangga dan bagaimana sampah plastik tersebut didaur ulang menjadi pralon dan bahan lain yang dibutuhkan manusia. Juga bagaimana sampah kain bekas digunakan kembali menjadi pot semen tanaman yang harganya lebih murah dengan pot plastik dalam ukuran sama.

Problem di Bumdes saat ini khususnya yang memiliki unit usaha sampah adalah belum dimanfaatkannya sampah organik rumah tangga yang terkumpul dari pelanggan mereka. Bumdes masih sebatas mengambil sampah plastik dan kertas dari sampah pelanggan dan mereka jual ke pihak ketiga. Padahal jumlah sampah organik ini jumlahnya banyak, sehari bisa ratusan kilo. Maka bagaimana memanfaatkan sampah organik ini supaya tidak hanya dibuang ke TPA, menjadi materi pelatihan yang penting agar sampah dari masyarakat bisa tuntas terselesaikan oleh Bumdes.

Sampah organik sebenarnya dapat terurai oleh mikroorganisme yang ada di alam tetapi proses ini membutuhkan waktu lama. Kemampuan mikroorganisme dalam menguraikan sampah kalah cepat dengan jumlah sampah yang diproduksi manusia. Padahal ada organisme yang mampu menguraikan sampah dengan cepat dan mudah dilakukan, yaitu maggot. Maggot adalah fase larva dari lalat tentara hitam (black soldier fly), lalat yang berkembang biak dengan cepat, dalam satu siklus hidupnya selama 50 hari mampu berkembang biak seratus kali. Pada fase maggot mampu mengkonsumsi sampah organik seberat dua kali berat tubuhnya, sifat inilah yang menjadikan maggot sebagai ‘mesin’ pengurai sampah organik yang paling efektif sekaligus efisien.

Manfaat yang didapat tidak hanya sebagai pengurai sampah organik tetapi juga maggot ini bisa dimanfaatkan sebagai pakan unggas dan ikan karena tubuhnya mengandung protein tinggi dan juga kalori. Penggunaan maggot sebagai pakan ikan dapat menekan komponen biaya pakan ikan sampai 23%. Dari budidaya maggot juga menghasilkan pupuk kompos berkualitas dari kotoran maggot. Jadi, satu sisi masalah sampahnya bisa terselesaikan  dan akan didapat manfaat lain yang sangat menguntungkan.

Bagaimana analisa usaha budidaya maggot? Untuk bisa menghasilkan satu kilogram maggot dari fase telur sampai maggot dewasa dibutuhkan lima kilogram limbah organik. Jadi kalau Bumdes punya pelanggan 400 KK dengan satu KK anggotanya 4 orang maka dalam satu hari sampah organik yang terkumpul adalah 0,6 x 0,7 x 4 x 400 kg sekitar 672 kg sampah organik. Maka dalam sehari mampu dihasilkan maggot seberat 672 kg dibagi lima yakni sekitar 134 kilogram maggot. Harga satu kilo maggot di pasaran Rp. 6.000,- sehingga Bumdes akan memperoleh pendapatan sebesar 134 kali Rp. 6.000,- yakni Rp.804.000,- dengan dikurangi biaya penyusutan kandang dan alat serta upah tenagakerja masih feasible untuk serius digeluti. Potensinya sangat besar,  jumlah KK di satu desa bisa mencapai 2.000 KK lebih, apabila unit usaha sampah digeluti secara serius oleh Bumdes hasilnya sangat menjanjikan.

Jika budidaya maggot dengan menggunakan pakan sampah organik limbah rumah tangga bisa dilakukan secara massif di setiap Bumdes, masalah sampah terselesaikan di tingkat Bumdes dan mimpi Bantul Zero Waste -seperti misinya bupati-  bisa terwujud tidak lebih dalam tiga tahun.

Global thinking, local acting. Dari Bantul untuk Indonesia. Semoga…(AT)

                                                                                                                           

Jumat, 16 April 2021

Ekspose Pemutakhiran IDM Tahun 2021 dan Launching Pendataan SDGs

DESA MANDIRI HARUS SEMBODO

Indeks Desa Membangun (IDM) merupakan indeks komposit yang dibentuk berdasarkan tiga indeks, yaitu: Indeks Katahanan Sosial (IKS), Indeks Ketahanan Ekonomi (IKM), Indeks Ketahanan Lingkungan (IKL). Indikator yang dikembangkan dalam IDM berdasar pada konsep bahwa untuk menuju desa maju mandiri kekuatan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan menjadi kekuatan yang saling mengisi dan bersinergi mempercepat pencapaian tujuan pembangunan. Indeks Desa Membangun merupakan prakarsa pemerintah dalam upaya mengukur, memotret perkembangan kemajuan dan kemandirian desa sebagai bahan menyusun rekomendasi kebijakan yang diperlukan. IDM bertujuan menetapkan status kemajuan dan kemandirian desa, menyediakan data bagi penyusunan kebijakan pembangunan desa, menyediakan data sebagai dasar perhitungan alokasi kinerja Dana Desa oleh Kementerian Keuangan. Klasifikasi status kemajuan desa dibagi menjadi lima, yakni: 

1. Desa Sangat Tertinggal
2. Desa Tertinggal
3. Desa Berkembang
4. Desa Maju
5. Desa Mandiri

Untuk pelaksanaan pemutakhiran IDM di Bantul tahun 2021 dilaksanakan pada awal bulan Maret sampai dengan awal April. Dan selama empat tahun terakhir keterlibatan pendamping dalam proses pemutakhiran IDM perannya sangat sentral bahkan sebagai pelaku utama.

Perkembangan hasil pemutakhiran IDM selama tiga tahun ini menunjukkan peningkatan status desa yang sangat signifikan. Pada tahun ini jumlah kalurahan yang masuk klasifikasi  Mandiri mencapai 61% dari 75 kalurahan se Kabupaten Bantul. Empat kalurahan di Kapanewon Sanden Tahun 2020 masuk klasifikasi Maju tetapi pada tahun 2021 keempatnya menjadi Mandiri. Tiga Kalurahan di Pajangan semuanya masih klasifikasi desa Maju. Kapanewon Sanden, Bambanglipuro, Jetis, Kasihan, Sedayu seluruh Kalurahannya masuk klasifikasi Mandiri.

Ekspos dan penandatanganan berita acara Penetapan Status Desa pemutakhiran IDM 2021 dilaksanakan pada Kamis tanggal 15 April 2021 sore di rumah dinas Bupati Bantul dengan mengundang OPD terkait, 17 Kapanewon dan 19 kalurahan yang statusnya naik dari Maju ke Mandiri. Ekspose disampaikan oleh Slamet S.Pd dan penandatangan oleh Koordinator TPP Bantul Wratsongko Sri Kawuryan ST, Kepala DPPKBPMD Bantul Dra. Sri Nuryanti. M.Si, Kepala Bappeda Bantul Ir. Isa Budi Hartono. MT. Dalam acara ini sekaligus dilaunching secara resmi Pendataan SDGs. 

Sebelum penandatanganan diawali sambutan Bupati Bantul H. Abdul Halim Muslih. Dalam sambutannya ditegaskan bahwa:”Bagi kalurahan yang masuk klasifikasi Mandiri agar lebih Sembodo dengan melakukan peningkatan kinerja serta inovasi baru, melakukan terobosan sehingga tidak hanya bersifat rutinitas”. 

“Dalam rangka mendukung pelaksanaan pendataan SDGs kelurahan perlu melakukan refokusing anggaran. Lurah agar lebih memfokuskan anggaran untuk 2-3 sasaran prioritas pembangunan”, ujar bupati. 


PKTD Untuk Kegiatan Kebun Buah Desa

                   Sesuai dengan kebijakan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi dalam penggunaan Dana Desa tahun ...